Friday, December 14, 2012

My Daily Beauty Ritual



It’s December already ! I realize i haven’t write for a long time. So i got this job as Special Event and Promotion Executive in one of International Cosmetic Brand, Estée Lauder in Indonesia, probably best job ever, it’s been a year since i join the company in October 2011.
To be honest, before i join this company i never do anything in particular with face treatment or any skincare. You can imagine how i look back then. But since i join this company, i start to use Estée Lauder’s product to feel the real benefit on my skin and amazingly it become better and better. So as i promote products throught events, i put myself through the eyes of a customer on how i feel and my curiosity about new products. Estée Lauder is a great company to join, and most of all i love the products. On my opinion, this is a-you-must-have-item and also my daily beauty ritual, because just like Mrs. Estee Lauder said “Every Woman Can Be Beautiful” :



 1.      Optimizers Intensive Boosting Lotion Evenskintone & Hydration
2.       Idealist Evenskintone Illuminator, serum
  .   Advanced Night Repair Synchronized Recovery Complex, serum
4.      Hydrationist Moisturizer N/C
5.      Advanced Night Repair Eye, gel
6.      Idealist Cooling Eye Illuminator
7.      Illuminating Perfecting Primer
8.      Double Wear Foundation (my shade is Tawny)
9.      Double Wear Concealer
 10.  Lucidity Translucent Powder (my choice is Transparent)
11.  Pure Color Eye Shadow Pallette (my choice is Film Noir)
12.  Pure Color Eye Shadow Gelée (my choice is Cyber Gold)
13.  Double Wear Zero-Smudge Mascara
14.  Pure Color Blush (i use Witty Peach)
15.  Pure Color Lipstick (i choose Forbidden Kiss for night look)
16.  Pure Color Vivid Shine Lipstick (i really love this new color, my choice is Violet Electra)

Monday, December 10, 2012

The Adiningrat





(picture of Mangkoeningrat's family, August 15th 1958)

it's been 8 years since my granpa passed away
and here's a simple story about a simple old man

Rasanya baru kemarin saya keluar dari ruangan High Care Unit Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan pandangan kosong, badan sedikit melayang dan perlahan menitikkan air mata. Eyang pameget (pameget berarti pria dalam bahasa Sunda halus, red) di hadapan saya, mama, dan dua orang kakak perempuan mama menghembuskan nafas terakhirnya setelah sebelumnya dalam keadaan satu bulan koma. Saya masih ingat betul karena itu adalah kali pertama saya menyaksikan kematian yang terjadi di depan mata kepala saya sendiri. Some people said that facing death are the most frightening and the most painful experience you will ever ever face. Tapi buat saya sepertinya hal itu tidak terjadi pada eyang. Hingga tekanan darahnya terus drop dan kami (saya, mama dan dua kakak perempuan mama) memaksa masuk untuk meneriakkan talqin (dalam Islam meneriakkan nama Allah kepada seorang yang sedang sekarat, diyakini agar seorang yang sekarat menyebut nama Allah di akhir nyawanya), i believe he rest in peace.

Kakek saya, Rd. Moch. Dudun Adiningrat adalah anak ke-4 dari 17 bersaudara di keluarga besar Rd. Mangkoeningrat di Bondongan, Bogor (ini artinya mama memang turunan Sunda asli). Tercatat lahir pada tanggal 19 Juli 1920 (nyatanya mama bercerita bahwa sebenarnya eyang lahir pada 19 Desember 1919, hanya untuk masuk sekolah pada waktu itu, akte kelahirannya ditulis ulang). Kisah masa kecil eyang, saya kurang tahu, eyang tidak bercerita banyak tentang masa kecilnya. Saya tidak bisa bayangkan memiliki 16 saudara lainnya bagaimana mereka hidup (masih) di jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Sekolah di MULO dan kemudian melanjutkan di pendidikan kesehatan, dari sini saya tahu cerita bagaimana eyang pameget bertemu eyang istri (istri artinya perempuan dalam bahasa Sunda halus) yang mana eyang istri adalah putri pertama dari seorang dokter hewan di Bogor.

Banyak kisah yang diceritakan berkali-kali tentang eyang di jaman perang dulu, saya masih ingat satu per satu, bagaimana eyang selamat dari sebuah peluru yang nyaris bersarang di kepalanya, penyamaran sebagai tukang sayur pada saat Long-March dimana eyang harus berpura-pura compang camping padahal sebenarnya eyang berperawakan tinggi dan terbilang sangat putih dan tampan. I'm not gonna tell you cause it's a long long looong story you might get bored. Dari lahir sampai kurang lebih kelas 3 SD, papa mama saya juga adik saya tinggal di rumah eyang di Bandung. Rumah tentara yang cukup besar untuk menampung 10 orang. Jadi, dari kecil ketika mama dan papa bekerja, waktu-waktu saya dan adik saya dihabiskan bersama eyang. Eyang selalu merekam kartun-kartun Disney ke dalam video kaset BETA (ini epic ! kalian yang lahir tahun 80an pasti tahu) dan memutarnya kembali untuk ditonton saya dan adik saya. Eyang juga suka sekali menggambar, in fact, beliau adalah seniman terhebat dalam hidup saya ! Saya ingat mama bercerita jika dulu, guru sekolahnya hampir memberi angka 11 di report menggambar eyang. Salah satu kesukaan saya adalah eyang menggambar foto ibunya (buyut saya) menggunakan soft pastel dan dibuatnya dari titik-titik warna, sayang saya tidak bisa mencantumkan fotonya disini. Tapi kecintaan saya akan karya eyang adalah satu lukisan bunga Alamanda yang dibuatnya sekitar tahun 1965. Satu pesan eyang pada mama, "Tin, kalau papi sudah tidak ada nanti, lukisan ini buat Wulan, karena namanya Alamanda...". Dan lukisan eyang masih saya simpan dan akan saya simpan sampai mati.

This old man, in my memory, and i'm sure in every person that know him, eyang itu sosok yang sangat sederhana, murah senyum, jujur, rapi, dan terlebih sangat sabar. Eyang istri (alm.) dalam ceritanya selalu mengatakan bahwa eyang pameget dalam hampir 60 tahun pernikahannya tidak pernah sekalipun mengeluarkan nada tinggi, dan romantically, mereka selalu berpegangan tangan setiap malam diwaktu tidur. Saya masih bisa dengan jelas picture him berjalan dengan langkah agak terseret menuju meja makan, duduk dengan agak miring, mengambil merica untuk dimakan dengan sup dan memiringkan mangkuk sup agar dengan mudah menyendok sup hingga suapan terakhir, lalu tersenyum, "supnya enak, Tin.." (kepada mama).

Ketika saya diterima masuk Fakultas Seni Rupa dan Design di Institut Teknologi Bandung, waktu itu eyang sudah tidak ada. Saya ingat saya bermimpi eyang datang melihat saya membuat tugas-tugas dan hanya tersenyum. I'm sure he's proud. Dan ketika sekarang saya sudah lulus, bekerja di Jakarta, pindah rumah (rumah eyang juga telah dikembalikan kepada Angkatan Darat), terkadang kenangan tentang eyang masih jelas tergambar. Bagaimana eyang mengantarkan saya ke Taman Kanak-Kanak sambil berjalan, mengantarkan saya ke Sekolah Al-Quran di sore hari, merestorasi gambar-gambarnya, membacakan komik Asterix, memberikan saya perangko-perangko Belanda ketika saya hobby filatelli... as far as i can remember, it was nothing but a beautiful memories...

Lama saya tidak berziarah ke makam eyang, makam rapi berumput hijau dengan tanda jasa di Taman Makam Pahlawan Bandung. Soon i'll visit it. Karena untuk orang-orang yang saya cintai, tanah, alam, kematian, bukan pemutus doa. Ah, how i miss you eyang....